Showing posts with label Palawas. Show all posts
Showing posts with label Palawas. Show all posts

Sunday, August 20, 2017

Perjalanan Raden Pamanah Rasa Bag. 1

Kisah Prabu Siliwangi sangat dikenal dalam sejarah sunda sebagai Raja Pajajaran. Salah satu naskah kuno yang menjelaskan tentang perjalanan Prabu Siliwangi adalah kitab Suwasit. Kitab yang di tulis dengan menggunakan bahasa sunda kuno dalam selembar kulit macan putih yang ditemukan di desa Pajajar Rajagaluh Jawa Barat.

Prabu Siliwangi seorang raja besar pilih tanding sakti mandraguna, arif & bijaksana memerintah rakyatnya di kerajaan Pakuan Pajajaran Putra Prabu Anggalarang atau Prabu dewa Niskala Raja dari kerajaan Gajah dari dinasti Galuh yang berkuasa di Surawisesa atau Kraton Galuh di Ciamis Jawa Barat. Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa. Sejak kecil beliau diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati di kerajaan Singapura (sebelum bernama kota Cirebon).

Setelah Raden Pemanah Rasa dewasa & sudah cukup ilmu yg diajarkan oleh Ki Gedeng Sindangkasih, beliau kembali ke kerajaan Gajah untuk mengabdi kepada ayahandanya Prabu Angga Larang/Dewa Niskala. Setelah itu Raden pemanah Rasa menikahi Putri Ki Gedeng Sindangkasih yang bernama Nyi Ambet Kasih.



Ketika itu Kerajaan gajah dalam pemerintahan Prabu Dewa Niskala atau Prabu Angga Larang sedang dalam masa keemasanya wilayahnya terbentang luas dari sungai Citarum di Karawang yang berbatasan Langsung dengan kerajaan Sunda sampai sungai Cipamali berbatasan dengan Majapahit.
Berikut silsilah Prabu Siliwangi sebagai keturunan ke-12 dari Maharaja Adimulia.
MAHA RAJA ADI MULYA / RATU GALUH AJAR SUKARESI menikahi Dewi Naganingrum / Nyai Ujung Sekarjingga berputra :PRABU CIUNG WANARA berputra :SRI RATU PURBA SARI berputra :PRABU LINGGA HIANG berputra :PRABU LINGGA WESI berputra :PRABU SUSUK TUNGGAL berputra :PRABU BANYAK LARANG berputra :PRABU BANYAK WANGI berputra :PRABU MUNDING KAWATI / PRABU LINGGA BUANA berputra :PRABU WASTU KENCANA ( PRABU NISKALA WASTU KANCANA )berputra :PRABU ANGGALARANG ( PRABUDEWATA NISKALA ) menikahi Dewi Siti Samboja / Dewi Rengganis berputra :SRI BADUGA MAHA RAJA PRABU SILIHWANGI/PRABU PEMANAH RASA (1459-1521M)
Pada suatu hari Prabu Angga Larang geram karena banyak dari penduduknya di Muara Jati yang beragama hindu pindah ke agama baru yang dibawa oleh alim ulama dari Campa Kamboja bernama Syekh Qurotul’ain, agama tersebut bernama islam maka diutuslah beberapa orang kepercayaannya untuk mengusir ulama itu dari tanah jawa.

Konon kabarnya, ulama besar yang bergelar Syekh Qurotul’ain dengan nama aslinya Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanudin. Beliau adalah seorang yang arif dan bijaksana dan termasuk seorang ulam yang hafidz Al-Qur’an serta ahli Qiro’at yang sangat merdu suaranya. Syekh Qurotul’ain adalah putra ulama besar Mekkah, penyebar agama islam di negeri Campa (Kamboja) yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih keturunan dari Sayidina Hussen Bin Sayidina Ali R.A dan Siti Fatimah R.A putri Rosulullah SAW.

Sebelum beliau datang ke tanah jawa sekitar tahun 1409 Masehi, Syekh Qurotul’ain pertama kali menyebarkan Agama islam di negeri Campa Kamboja lalu ke daerah Malaka dan dilanjutkan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura akhirnya sampailah ke Pelabuhan Muara Jati yang saat itu syahbandar digantikan oleh ki gedeng Tapa karna Ki gedeng sindangkasih telah wafat.

Disini beliau disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati yang masih keturunan Prabu Wastu Kencana Ayah dari Prabu Anggalarang dan oleh masyarakat sekitar. Mereka sangat tertarik dengan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro yang di sebut ajaran agama Islam.
Sampailah para utusan itu di depan pondokan syech Quro,Utusan itu Menyampaikan Perintah dari Rajanya agar penyebaran agama islam di Muara Jati harus segera dihentikan. Perintah dari Raja Gajah tersebut dipatuhi oleh Syeh Qurotul’ain namun kepada utusan prabu Anggalarang
yang mendatangi Syekh Qurotul’ain, beliau mengingatkan,meskipun ajaran agama Islam dihentikan penyebarannya tapi kelak dari keturunan Prabu Anggalarang akan ada yang menjadi seorang Wali Allah.
Beberapa saat kemudian beliau pamit pada Ki Gedeng Tapa untuk kembali ke negeri Campa,di waktu itu pula Ki Gedeng Tapa menitipkan putrinya yang bernama Nyi Mas Subang Larang,untuk ikut dan berguru pada Syekh Quro.

Berangkatlah Syeh Quro bersama Nyi subang Larang dngn menggunakan Perahu kembali ke negri campa kamboja sebagai Seorang putra Raja Beliau tidak Betah tinggal diam di istana, Raden Pamanah Rasa kerap mengembara menyamar menjadi rakyat jelata dari daerah satu ke daerah Lainya, menolong yg lemah & Memberantas Keangkaramurkaan,Gemar bertapa & mencari kesaktian, Di dalam salah satu pengembarannya, Ketika beliau hendak beristirhat di Curug atau air terjun,curug itu bernama Curug Sawer yg terletak di daerah Majalengka,Raden pemanah Rasa dihadang oleh siluman Harimau Putih Pertempuran pun tak terelakkan.

Raden Pamanah Rasa dan Siluman Harimau Putih yang diketahui memiliki kesaktian tinggi itu pun bertarung sengit hingga Setengah Hari,Namun kesaktian Prabu Pamanah Rasa berhasil memenangi pertarungan dan membuat siluman Harimau Putih tunduk kepadanya. Harimau Putih itu memberi sebuah pusaka yg terbuat dari kulit Macan, dengan pusaka itu beliau bisa Terbang Laksana burung, Menghilang tak terlihat oleh mata (ajian Halimun),berjalan secepat angin (Ajian saepi Angin) & Bisa Mendatangkan Bala tentara Jin. Harimau itupun memutuskan untuk mengabdi kepada Raden Pamanah Rasa sebagai pendamping beliau.

Dengan tunduknya Raja siluman Harimau Putih,maka meluaslah wilayah kerajaan Gajah.
Siluman Harimau Putih beserta pasukannya selanjutnya dengan setia mendampingi dan membantu Raden Pamanah Rasa.  Salah satunya kala kerajaan Gajah menundukkan kerajaan2 yg Memeranginya.Siluman Harimau Putih juga turut membantu Raden Pamanah rasa saat kerajaan Pajajaran diserang oleh pasukan Mongol pada Masa kekaisaran Kubilai khan.
Karna Jasa-jasa Anaknya yg begitu besar dalam Kejayaan kerajaan gajah,maka diangkatlah Raden pemanah Rasa sebagai Raja kedua di kerajaan tersebut.

Prabu Pamanah Rasa pun selanjutnya mengubah nama kerajannya menjadi kerajaan Pajajaran. Yang berarti menjajarkan atau menggabungkan kerajaan Gajah dengan kerajaan Harimau Putih.
Seiring meluasnya wilayah kerajaan Gajah,Prabu Pamanah Rasa kemudian membuat senjata sakti yang pilih tanding. Beliau menyuruh Eyang Jaya Perkasa untuk membuat senjata pisau berbentuk harimau sebanyak tiga Buah,Dalam Tiga Warna, yaitu Kuning, Hitam, Putih. Senjata pertama yang berwarna hitam,dibuat dari batu yang jatuh dari langit yang sering disebut meteor, yang dibakar dengan kesaktian Prabu Pamanah Rasa Dalam membentuk besi yang diperuntukkan untuk membuat senjata tersebut. Senjata Kedua dibuat dari air,api yang dingin,yang warnanya kuning dibekukan menjadi besi kuning, Senjata ketiga dari besi biasa yang direndam dalam air hujan menjadi putih berkilau.

Senjata itu selesai dalam waktu tujuh hari. semalam penuh Pengeran Pamanah Rasa memikirkan nama untuk senjata sakti tersebut,tepat ayam berkokok ditemukan nama untuk ketiga barang tersebut, Pisau pusaka itu di beri nama KUJANG (Senjata Berbentuk Harimau), dikarenakan Pusaka itu ada tiga, Maka kujang tersebut di beri nama KUJANG TIGA SERANGKAI yang artinya BEDA-BEDA TAPI TETAP SAMA.

Senjata itu berbentuk melengkung dengan ukiran harimau di gagangnya. Ukiran harimau di gagang Kujang konon sebagai pengingat terhadap pendamping setianya, siluman Harimau Putih. Dan pusaka itu yg kini menjadi lambang dari propinsi Jawa Barat,

Beberapa Tahun kemudian Syekh Quro datang kembali ke negeri Pajajaran beserta Rombongan para santrinya,dengan menggunakan Perahu dagang dan serta didalam rombongan adalah,Nyi Mas Subang Larang,Syekh Abdul Rahman.Syekh Maulana Madzkur dan Syekh Abdilah Dargom. Setelah Rombongan Syekh Quro melewati Laut Jawa dan Sunda Kelapa dan masuk Kali Citarum,yang waktu itu di Kali tersebut ramai dipakai Keluar masuk para pedagang ke Pajajaran,akhirnya rombongan beliau singgah di Pelabuhan Karawang.

Menurut buku sejarah masa silam Jawa Barat yang terbitan tahun 1983 disebut Pura Dalem. Mereka masuk Karawang sekitar 1416 M.yang mungkin dimaksud Tangjung Pura,dimana kegiatan Pemerintaahan dibawah kewenangan Jabatan Dalem..Karena rombongan tersebut,sangat menjunjung tinggi peraturan kota Pelabuhan,sehingga aparat setempat sangat menghormati dan,memberikan izin untuk mendirikan Mushola ( 1418 Masehi) sebagai sarana Ibadah sekaligus tempat tinggal mereka.Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang,Syekh Quro menyampaikan Dakwah-dakwahnya di Mushola yang dibangunya (sekarang Mesjid Agung Karawang ).dari urainnya mudah dipahami dan mudah diamalkan,ia beserta santrinya juga memberikan contoh pengajian Al-Qur’an menjadi daya tarik tersendiri di sekitar karawang.

Lurah Semar Badranaya Sang Abdi Humoris

Semar atau Kyai Badranaya adalah putra Sanghyang Tunggal dan Dewi Wiranti. Ia mempunyai dua saudara, yaitu Sanghyang Antaga (Togog) dan Sanghyang Manikmaya (Batara Guru). 3 bersaudara itu berasal dari telur yang bercahaya. Ketika dipuja oleh Sanghyang Tunggal telur itu pecah kulitnya menjadi Togog, putihnya menjadi Semar dan kuningnya menjadi Batara Guru. Pada waktu di kahyangan Semar bernama Sanghyang Ismaya dan mempunyai istri Kanastri. Berputra sepuluh orang. Sebutan lain Semar Saronsari, Ki lurah Badranaya, Nayantaka, Puntaprasanta, Bojagati, Wong Boga Sampir, Ismaya.
Semar berwatak : sabar, jujur, ramah, suka humor. Setelah turun dari kahyangan ia menjadi abdi (panakawan) yang selalu memberi bimbingan bagi para kesatria. Pada waktu di kahyangan ia seorang yang tampan tapi setelah menjadi semar, dan turun ke arcapada (dunia) badannya menjadi gendut, pendek, dan berwajah lucu karena matanya selalu berair.


Diceritakan pada waktu Antaga, Ismaya, dan Manikmaya mengikuti sayembara menelan gunung."Barang siapa yang mampu menelan gunung kemudian mengeluarkan lewat duburnya maka akan mampu menjadi raja di tiga dunia (jagad luhur, madya, andhap). Antaga mencoba, tetapi tidak bisa malah mulutnya sobek dan matanya melotot. Sedangkan Ismaya dapat menelan gunung tapi tidak bisa mengeluarkannya sehingga perutnya buncit, menjadi besar dan matanya berair ( karena menahan sakit ). Sanghyang Manikmaya berhasil menelan gunung, ia diangkat menjadi raja di Kaendran atau Suralaya, juga menguasai jagad madya dan jagad andhap. Kemudian Ismaya ditugaskan oleh Sanghyan Wenang untuk turun ke bumi menjadi abdi para kestaria keturunan Witaradya termasuk leluhur pandawa.

Semar bertempat tinggal di Karang Kedempel, dengan nama semar Badranaya, dan mengangkat anak tiga orang yaitu : Gareng, Petruk dan Bagong. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong disebut Punakawan, yang mempunyai arti teman yang setia. Punakawan selalu ikut kesatria yang membela kebenaran, dan selalu menjadi penghibur apabila junjungannya sedang sedih. Semar juga dapat menjadi sarana ketentraman dan kemuliaan bagi negara yang ditempatinya. Pandawa telah menganggap Semar seperti penasihatnya. Pandawa tahu bahwa Semar adalah dewa yang turun ke bumi untuk keselamatan dan keadilan. Selain itu punya watak arif bijaksana, tidak suka marah, suka bercanda.
Panakawan Pana artinya tahu kawan artinya teman. Panakawan artinya : tahu apa yang harus dilakukan ketika mendampingi tuannya (majikannya) dalam keadaan suka dan duka, penuh cobaan dan godaan untuk menuju arah kemuliaan.

Komunitas Lawas Pemegang Teguh Seni dan Budaya Nasional


Keberadaan sebuah seni dan budaya serta adat istiadat yang berla­ku di tengah masyarakat adalah sebu­ah ciri terhadap nilai peradaban ma­sya­rakat itu sendiri. Sebagai Mahluk sosial dan beragama tentu hidup saling ber­dampingan dan saling membutuhkan adalah suatu hal yang tak bisa dielakan.

“Hidup bermasyarakat itu adalah sunnah, baik secara Hak dan Kewa­ji­ban atas kehidupan di bumi ini, baik da­lam kehidupan beragama, ber­bang­sa dan bernegara,” terang Babeh Amsar (60) pendiri sekaligus pembina Komunitas Laskar Wayang Sejati (Lawas) saat ditemui Harian Bogor di Pendopo Lawas yang berlokasi di Dusun Babakan RT 01 RW 05 Desa Pondok Udik Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor.

Babeh, begitu sapaan akrabnya, menjelaskan, dalam UUD 1945, Pan­ca­sila dan Bhineka Tunggal Ika sebagai landasan bernegara dan berbang­sa telah sangat jelas bahwa bahwa ke­merdekaan berkelompok atau berorganisasi bagi masyarakat, sejatinya adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kekuatan dan aset bangsa Indonesia.

“Ada banyak budaya, adat istiadat serta kearifan lokal suatu daerah, yang proses serta keberadaannya, terus menerus tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu serta perubahan jaman. Semua itu potensi bangsa yang bisa dimaksimalkan demi kesejahteraan dan kedamaian umat manusia,” paparnya.



Paguyuban Laskar Wayang Sejati (Lawas), Lanjutnya, yang dibentuk pada 22 Maret 2013, bertepatan dengan tanggal 10 Jumadil Awal 1434 H, bertujuan untuk mempertahankan kedaulatan dan menyatukan berbagai perbedaan Suku, Agama, Budaya agar tercipta kehidupan bermasyarakat yang damai dan harmonis.

“Memang tidak mudah mencapai hal tersebut, makanya dibutuhkan rasa tanggung jawab, yang dilandasi oleh nilai-nilai Luhur Persatuan dan Kesatuan dari semua elemen masya­rakat.” ujar Babeh Amsar.

Sementara itu, Agus Maulana, Ke­tua Paguyuban Lawas menjelaskan bah­wa, sesungguhnya keberadaan se­buah paguyuban atau organisasi ke­masyarakatan, merupakan titik awal menuju perbaikan kualitas kehi­dupan sosial bermasyarakat.

“Saat ini proses mempertahankan kesatuan dan persatuan antar anak bangsa baik dibidang politik, ekonomi, Budaya, Agama di tingkat daerah mau­pun nasional, sangat rentan dengan berbagai penyimpangan dan godaan, bahkan kemungkinan dimanfaatkan oleh kepentingan-kepentingan individu yang tidak bertanggung jawab.” ujar lelaki yang akrab disapa Ewo ini.

Namun demikian, Agus berharap, ber­dirinya Paguyuban Lawas atau or­mas apapun, dapat membantu me­ning­katkan peran serta masyarakat da­lam mengisi dan mempertahankan ke­daulatan bangsa dan Negara Kesa­tuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah diperjuangkan para pahlawan dengan keringat, darah, harta bahkan nyawa.

“Paguyuban Lawas memiliki ikrar Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh, sedangkan mottonya adalah Batja, Adji, dan Udji Diri Sendiri. Ikrar dan Motto itu bertujuan untuk membangun karakter keimanan dan ketaqwaan dikala­ng­an anggota khususnya, agar dapat ber­man­faat bagi masyarakat dan ling­ku­ngan dengan memberikan sumbangsih Tenaga, pikiran, waktu dan lain-lain yang bersifat positif sesuai dengan ke­mampuan masing-masing.” pumgkas Agus Maulana.